Oleh Nasrudin El-Zain
Sabtu
(22/10/2016) bagi saya adalah hari yang begitu bersejarah. Bagaimana tidak,
keinginan saya untuk ngangsu kaweruh secara langsung kepada budayawan mbeling
Emha Ainun Najib (Cak Nun) akhirnya kesampaian juga. Dari Tulungagung, saya
tempuh kurang lebih dua jam untuk sampai di Kota Reog Ponorogo. Meski lumayan
jauh, saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Kurang lebih pukul 09.00 WIB
saya sampai di alun-alun yang dijadikan lokasi, dan untungnya acara belum
dimulai.
Dengan
mengangkat tema, Santri, NKRI, TNI dan Masa Depan Indonesia—sebagai
refleksi peringatan hari santri—Cak Nun memulai dengan melempar pertanyaan
kepada penonton, “Apa bedanya santri dengan pelajar (sekolah formal)?” Dengan
gaya khasnya, ia menjelentrehkan makna santri dengan gamblang. Bagi Cak
Nun santri adalah orang yang miskin, masa depannya suram, dan tidak jelas mau
jadi apa. Melihat pengertian dari santri yang hampir tak ada baiknya itutentu
para penonton melongo dibuatnya. Namun sejurus kemudian, iamenegaskan
bahwa justru karena hal itulah para santri pada era penjajahan dulu mampu
menumbangkan tentara sekutu.
Sebab
santri miskin dalam terminologi Cak Nun adalah mereka yang giat bertirakat;
menahan segala godaan duniawi yang fana. Selain itu masa depan yang suram dan
entah mau jadi apa ternyata juga menjadi penyulut semangat keberanian seorang
santri dalam menepis bayang-bayang timah panas dan dentuman geranat yang siap
meleburkan tubuh mereka. Alhasil para santri akhirnya memetik kemenangan dalam
medan pertempuran Resolusi Jihad tahun 1946.
Lantas
perbedaan santri dengan pelajar apa? Menurut budayawan penulis buku Indonesia
Bagian dari Desa Saya itu, keunggulan santri ketimbang pelajar adalah ia
tak hanya mempelajari ilmu pengetahuan umum, melainkan juga ilmu-ilmu
eskatologis. Oleh karena itu, Cak Nun menyebut santri sebagai pembelajar dalam arti
life long education yang sesungguhnya. Bukan seperti pelajar yang hanya
bersifat limited education.
Tak hanya
berhenti disitu, Cak Nun juga menjawab pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang
penontonyang kebetulan menjadi tenaga kependidikan (guru) di Papua. Guru itu
menceritakan tentang bagaimana kesejahteraan rakyat Papua yang sangat jauh
dikatakan layak (sejahtera) di samping konflik Gerakan Papua Merdeka (GPM)yang juga
tak kunjung usai. “Lalu apakah ada yang keliru dengan UUD 1945 dalam pasal 34
ayat 1 yang berbunyi: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara”? tanyanya antusias.
Bagi
Cak Nun selama ini tidak ada yang keliru dari UUD 1945 maupun Pancasila. Hanya
saja yang keliru itu adalah pemerintahnya. Sesungguhnya Indonesia itu tidak
mempunyai negara.Ia mengibaratkan negara adalah rumah dan pemerintah adalah
pelayannya yang siap melayani rakyat dengan tulus setiap saat, namun di
Indonesia sendiri praktik yang seperti itu sama sekali tak ada, orang lebih
banyak memaknai pemerintah sebagai orang yang bisa memerintah rakyat dengan seenak
udel-nya.
Dalam
masalah ini, Cak Nun juga menyuguhkan tembang dolanan anak-anak zaman
dulu: “E tamune teko, e beberne kloso, e klosono bedah, e tembelen jadah, e
jadah e mambu, e pakakne asu, e asune mati, e kelekne kali, e kaline banjer, e
keli neng pingger”. Baginya, tembang itu bukan sekadar hiburan
melainkan juga sentilan. Pemerintah—dengan tanpa tedeng aling-aling—diibaratkan
Cak Nun layaknya hewan yang tak lagi punya hati nurani: bengis dan haus nafsu
korupsi. Maka tembang dolanan tersebut, jika dimaknai lebih luas
merupakan cermin tipologi pemerintah saat ini yang alih-alih membenahi
kebobrokan negara justru memperparah keadaan dengan cara-cara yang tak
tepat.
Sebagai
pamungkas, murid Umbu Landu Paranggi itu berharap pesantren akan terus
melahirkan kader-kader unggulan yang amanah sebab hanya pesantrenlah yang masih
murni mengajarkan dan memelihara budaya asli Nusantara. Terlebih jika kelak dunia
ini semakin amburadul dan rusak parah seiring dengan menggilanya
kapitalisme global maka budaya-budaya pesantrenlah yang bakal dijadikan acuan
atau parameter.
Penulis adalah santri di Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung sekaligus aktif di PMII Komisariat IAIN
Tulungagung.