Senin, 14 November 2016

Cak Nun: Santri dan Masa Depan NKRI



Oleh Nasrudin El-Zain

Sabtu (22/10/2016) bagi saya adalah hari yang begitu bersejarah. Bagaimana tidak, keinginan saya untuk ngangsu kaweruh secara langsung kepada budayawan mbeling Emha Ainun Najib (Cak Nun) akhirnya kesampaian juga. Dari Tulungagung, saya tempuh kurang lebih dua jam untuk sampai di Kota Reog Ponorogo. Meski lumayan jauh, saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Kurang lebih pukul 09.00 WIB saya sampai di alun-alun yang dijadikan lokasi, dan untungnya acara belum dimulai.
Dengan mengangkat tema, Santri, NKRI, TNI dan Masa Depan Indonesia—sebagai refleksi peringatan hari santri—Cak Nun memulai dengan melempar pertanyaan kepada penonton, “Apa bedanya santri dengan pelajar (sekolah formal)?” Dengan gaya khasnya, ia menjelentrehkan makna santri dengan gamblang. Bagi Cak Nun santri adalah orang yang miskin, masa depannya suram, dan tidak jelas mau jadi apa. Melihat pengertian dari santri yang hampir tak ada baiknya itutentu para penonton melongo dibuatnya. Namun sejurus kemudian, iamenegaskan bahwa justru karena hal itulah para santri pada era penjajahan dulu mampu menumbangkan tentara sekutu.
Sebab santri miskin dalam terminologi Cak Nun adalah mereka yang giat bertirakat; menahan segala godaan duniawi yang fana. Selain itu masa depan yang suram dan entah mau jadi apa ternyata juga menjadi penyulut semangat keberanian seorang santri dalam menepis bayang-bayang timah panas dan dentuman geranat yang siap meleburkan tubuh mereka. Alhasil para santri akhirnya memetik kemenangan dalam medan pertempuran Resolusi Jihad tahun 1946.
Lantas perbedaan santri dengan pelajar apa? Menurut budayawan penulis buku Indonesia Bagian dari Desa Saya itu, keunggulan santri ketimbang pelajar adalah ia tak hanya mempelajari ilmu pengetahuan umum, melainkan juga ilmu-ilmu eskatologis. Oleh karena itu, Cak Nun menyebut santri sebagai pembelajar dalam arti life long education yang sesungguhnya. Bukan seperti pelajar yang hanya bersifat limited education.
Tak hanya berhenti disitu, Cak Nun juga menjawab pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang penontonyang kebetulan menjadi tenaga kependidikan (guru) di Papua. Guru itu menceritakan tentang bagaimana kesejahteraan rakyat Papua yang sangat jauh dikatakan layak (sejahtera) di samping konflik Gerakan Papua Merdeka (GPM)yang juga tak kunjung usai. “Lalu apakah ada yang keliru dengan UUD 1945 dalam pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”? tanyanya antusias.
Bagi Cak Nun selama ini tidak ada yang keliru dari UUD 1945 maupun Pancasila. Hanya saja yang keliru itu adalah pemerintahnya. Sesungguhnya Indonesia itu tidak mempunyai negara.Ia mengibaratkan negara adalah rumah dan pemerintah adalah pelayannya yang siap melayani rakyat dengan tulus setiap saat, namun di Indonesia sendiri praktik yang seperti itu sama sekali tak ada, orang lebih banyak memaknai pemerintah sebagai orang yang bisa memerintah rakyat dengan seenak udel-nya.
Dalam masalah ini, Cak Nun juga menyuguhkan tembang dolanan anak-anak zaman dulu: “E tamune teko, e beberne kloso, e klosono bedah, e tembelen jadah, e jadah e mambu, e pakakne asu, e asune mati, e kelekne kali, e kaline banjer, e keli neng pingger”. Baginya, tembang itu bukan sekadar hiburan melainkan juga sentilan. Pemerintah—dengan tanpa tedeng aling-aling—diibaratkan Cak Nun layaknya hewan yang tak lagi punya hati nurani: bengis dan haus nafsu korupsi. Maka tembang dolanan tersebut, jika dimaknai lebih luas merupakan cermin tipologi pemerintah saat ini yang alih-alih membenahi kebobrokan negara justru memperparah keadaan dengan cara-cara yang tak tepat. 
Sebagai pamungkas, murid Umbu Landu Paranggi itu berharap pesantren akan terus melahirkan kader-kader unggulan yang amanah sebab hanya pesantrenlah yang masih murni mengajarkan dan memelihara budaya asli Nusantara. Terlebih jika kelak dunia ini semakin amburadul dan rusak parah seiring dengan menggilanya kapitalisme global maka budaya-budaya pesantrenlah yang bakal dijadikan acuan atau parameter.

Penulis adalah santri di Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung sekaligus aktif di PMII Komisariat IAIN Tulungagung.


Senin, 30 Mei 2016

Surat Kecil Untuk Sahabat Mahbub Junaidi




Oleh: Nasrudin el-Zain
Assalamualaikum wr.wb.
Yang saya hormati dan saya kagumi sahabat Mahbub Junaidi, mohon maaf bukan bermaksut untuk lancang atau ingin mengganggu istirahat panjang Anda, dan maafkan saya jika telah mengganggu ketentraman anda di alam sana. Kang, saya sengaja menulis surat ini kepada anda meskipun saya tahu jika anda sudah tidak bisa lagi untuk membacanya secara langsung, namun saya yakin jika Tuhan melalui malaikatnya akan menyampaikan surat ini kepada anda. Iya, benar anda kang Mahbub Junaidi bukan yang lain. Bahkan dalam bayangan saya kang Mahbub masih ada sehingga akan membacanya sendiri surat ini dan bukan lagi melalui malaikat-malaikat itu.
Saya sengaja memanggil anda ‘kang’ sebab banyak orang biasa memanggil anda dengan sebutan kang Mahbub Junaidi, kata itu sengaja saya gunakan agar saya dengan anda lebih terlihat akrab kang meskipun selisih usia saya dengan anda sangatlah jauh dan memang tradisi ditempat saya sebagai kader PMII biasa memanggil senior itu dengan sebutan kang. Namun sekali lagi mohon maaf jika kata itu membuat telinga anda terasa geli dan risih mendengarnya.
Kang, jika saya boleh jujur pertama kali dikenalkan dengan nama dan sedikit sejarah tentang dirimu dalam materi mapaba saya dulu, saya merasa lenyap dalam lamunan dan ingin rasanya aku hidup pada waktu itu kang. Saya ingin berjuang dan merasakan susah senangnya dalam merintis organisasi  PMII bersamamu pada kala itu kang, dan tentu aku bisa belajar menulis pada kang Mahbub biar tulisan saya bisa menarik seperti tulisan anda yang tak pernah bosannya orang untuk membaca .  
Owh iya kang, hari ini Minggu 17 April 2016 organisasi pada era 60-an yang anda bentuk dan dirikan bersama sahabat-sahabat PMII yang lain sudah menginjak usia ke-56 Tahun loh, tentu anda dan sahabat-sahabat yang lain akan bangga melihat perkembangan organisasi era 60-an itu pada saat ini kang. Sebab organisasi yang dulu hanya berada pada beberapa titik kota di Indonesia ini sekarang sudah meluas dan bahkan hampir semua kota di Indonesia terdapat cabang organisasi PMII ini. Namun perkembangan ini tidak bisa dijadikan tolak ukur atas keberhasilan organisasi ini kang, sebab setahu saya tujuan dari organisasi ini ialah terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dan dalam perkembangan ini kader PMII lengah dalam mengawal dan memperjuangkan cita-cita  kemerdekaan Indonesia, pasalnya masih banyak masyarakat Indonesia khususnya daerah pinggiran yang hidupnya masih dibawah kata layak. Dalam artian kemerdekaan Indonesia disini masih belum merata dan menyeluruh sehingga bisa dibilang yang merdeka itu baru pejabat-pejabat negaranya saja. 
Selogan “dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat” belum sepenuhnya direalisasikan  oleh pemerintah dan itu terbukti masih banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi. Kelengahan itu dikarenakan kita lebih sering disibukkan oleh konflik-konflik internal dalam kubu PMII sendiri. Kini kader-kader PMII juga banyak yang buta wacana sehingga mereka hanya menjadi kader grudak-gruduk. Jika  dulu anda sering mengkritisi pemerintahan dan membuat masyarakat tergelitik melalui tulisan-tulisan anda, mungkin jika anda masih ada untuk saat ini maka anda akan balik kanan dan mengkritisi PMII sendiri dan mungkin anda akan bilang insaf kader PMII. Kang maafkan saya jika mengabarkan hal yang mengusik ketenangan anda dialam sana dan mungkin ini bisa membuat anda menangis darah atas tingkah ulah dari kader PMII yang sekarang ini. 
Tak hanya itu, jika dulu anda sering memanfaatkan rubrik yang tersedia dalam Koran kompas setiap minggunya hanya untuk mengajak masyarakat berpikir dan mengerti realita yang sebenarnya kini rubrik-rubrik itu makin sering dan banyak orang-orang gunakan hanya untuk pencitraan dirinya maupun kelompoknya. Sungguh luar biasa semangatmu waktu itu dalam mewarnai dunia intelektual muda kang, sehingga itu yang membuat kami merindukan sosok-sosok bertalenta seperti dirimu. Kami kader PMII rindu ide-ide serta humoris anda dalam bentuk tulisan seperti yang pernah anda publikasikan dalam Koran Kompas atau yang sekarang menjadi buku asal-usul itu kang.
Yang membuat saya kagum pada anda sebagai anak muda waktu itu bukan hanya intelektual anda saja, namun anda juga telah membuat anak muda lainnya mengerti dan berpikir bagaimana menjadi anak muda yang seharusnya serta yang bertalenta itu. Melalui ide-ide kreatif dan gaya bahasa khas humoris yang berada dalam setiap tulisan, anda seperti seorang ustadz atau dai yang menyadarkan dan memeluk manusia lain sehingga setiap orang yang membacanya merasakan suasana hangatnya persahabatan.
Kang, andai saja kang Mahbub dapat hadir dalam hadapan saya secara langsung banyak yang ingin saya tanyakan dan pelajari dari kang Mahbub. Dan tentu saya akan merasa senang sekali dapat bertemu dan belajar langsung padamu kang. Selain itu anda juga akan melihat secara langsung besarnya harapan saya akan perjumpaan ini.
Tahun ini, acara harmah PMII ke-56 yang telah diperingati di daerah masing-masing merupakan suatu bukti patuh dan komitmennya kader PMII terhadap organisasi, meskipun tak semeriah dan sebuming acara tahun-tahun kemarin namun itu merupakan bentuk kecintaan kami semua terhadap organisasi PMII. ouh iya kang, saya berpikir andai saja kang Mahbub masih ada mungkin kang Mahbub akan menuliskan sebuah tulisan yang sangat indah dan menarik sebagai kado terindah untuk hari lahir PMII dalam tahun ini. dan tentu anda akan mempublikasikan tulisan tersebut melalui Koran yang biasa menjadi langganan untuk tulisan-tulisan anda sehingga akan banyak kader yang bisa untuk menikmati tulisan tersebut. jika itu  benar terjadi tentu bukan hanya kader-kader PMII  yang merasa senang, tapi ke-13 sahabat kang Mahbub yang dulu ikut berjuang bersama andapun akan  merasakan senang yang luar biasa. Tapi sayang kang, itu hanyalah sebuah harapan palsu saja yang selama ini menjadi angan-angan saya sebab tidak mungkin dan sangatlah mustahil.
Bila saja itu terjadi, meskipun bukan kang Mahbub yang menuliskan mungkin anda dan sahabat yang lain akan merasa sangat bangga terhadap kader –kader PMII, namun sayang sepanjang pengamatan saya baik sebelum, sesudah, maupun waktu puncaknya tak ada kader yang merealisasikan hal tersebut. Sehingga tak terdapat surat kabar Koran baik itu Kompas sendiri yang dulu biasa menjadi langganan kang Mahbub maupun Jawa Pos sekalipun, tapi entah jika kado-kado tersebut mereka publikasikan lewat media lain tentu kang Mahbub dan para sahabat yang lain lebih dapat mengerti dari pada saya. Jujur, sebagai kader awam yang belum bisa apa-apa saya masih belum berani untuk menjalankan hal arif tersebut. Sebab hal ini bukanlah hal yang enteng dan semua kader bisa melakukannya apalagi yang seperti saya ini. toh, jika saya menulisnya mungkin saya akan lebih pede untuk menyimpannya sebagai dokumen pribadi dari pada harus mempublikannya ke khalayak umum sebab masih terdapat  banyak tulisan dari kader-kader yang lain yang mungkin itu lebih indah dan menarik untuk dibaca orang banyak. 
Hal inilah yang mendasari kuat pada diri saya untuk bertemu dan belajar kepada anda kang Mahbub Junaidi secara langsung tentang bagaimana cara menulis agar tusian itu dapat terlihat menarik sehingga orang mau untuk membacanya maupun bagaimana cara mengurus organisasi PMII ini agar sesuai dengan tujuan para pendiri PMII dan biar tidak keluar dari kithoh yang telah ditetapkan organisasi ini.
Kang, mungkin ini dulu surat  yang saya tuliskan dan jika kang Mahbub berkenan hadir dalam mimpiku mala mini maka saya akan bererita lebih banyak lagi tentang sedih senangnya dalam mengurus organisasi ini, dan jika berkenan juga hadirkan jiwa-jiwa kang Mahbub Junaidi dalam setiap tetes tinta yang tergores dari tangan ini agar tulisan-tulisan saya bisa seperti tulisan anda sehingga banyak orang yang meminati. Dari saya kader yang selalu mengagumimu dan kader-kader PMII yang lain do’a kami tak akan pernah putus untuk kang Mahbub Junaidi dan sahabat-sahabat yang lain.

Waullohulmuafikilaa’wamittoriq
Wasalamualaikum wr.wb.
                                                                                                
                                                                                  Tulungagung, 17 April 2016
                                                                                              
                                                       Nasrudin el-Zain 











Senin, 18 April 2016

Blitar Kuto Cilik Kang Kawentar




Ora mokal Blitar dadi kembang lambe
Ora mokal akeh sing padha nyatakne
Yen to geni ngurubake semangate
Yen to banyu nukulake patriote

            Penggalan bait tembang jawa tentang kota Blitar di atas lah yang akan menghantarkan penulis menuliskan paragrap berikutnya, Blitar kota kecil dengan sejuta pelajaran sejarah, budaya dan semangat masyarakatnya. Sehingga tidak heran jika kota Blitar banyak menjadi buah bibir (kembang lambe) orang-orang sekitaran Kabupaten Blitar dan banyak yang ingin datang ke kota Patria untuk membuktikan langsung.
            Berawal dari rutinitas tahunan yang diadakan oleh Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung, saya – penulis bisa menginjakan kaki dikota Blitar khususnya Desa Semen Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar dengan tujuan “kampung Pengetahuan”.  Pertama memasuki Desa Semen saya dan teman-teman PKFT disuguhi pemandangan alam yang indah dan terlihat dari jalan, persawahan milik petani dengan berbagai macam tanaman yang Nampak sangat hijau dan segar. Yang lebih memukau lagi dengan ditambah jernihnya mata iar sungai yang mengalir disepanjang pinggiran persawahan.
            Dengan pengamatan kaca mata penulis di atas, saya – penulis  jadi teringat kampung halaman-nya (Magetan) dimana juga terdapat tanah yang tidak kalah humus dan gembur sehingga banyak tanaman yang tumbuh subur dan hijau disana.
            Namun, ada satu yang membuat penulis iri dengan Desa Semen ini yaitu kerukunan dan loyalitas masyarakatnya dalam membangun desa. sampai-sampai desa ini menjadi Kampung Wisata Ekologis (KWE), sebauh kampung yang dihuni kurang lebih 300 kepala keluarga ini bukan  hanya memiliki satu keyakinan, dalam artian mereka ada yang beragamakan Islam, Kristen dan Hindu kesemuanya bernaungkan dalam satu atap yaitu Desa Semen. Mereka hidup saling berdampingan namun tidak ada yang mempermalasahkan dari perbedaan keyakinan tersebut. Mereka tetap hidup rukun dan saling gotong royong untuk membangun desa.
             KWE merupakan hasil kreatifitas dan keuletan masyarakat Desa Semen dalam membangun desa. dulu hanya nampak seperti desa-desa biasa saja namun sekarang sudah disulap menjadi kampung ekologis. KWE yang dulu hanya beranggotakan segelintir orang pecinta alam yang memiliki inisiatif untuk mengembangkan tanaman anggrek hasil dari pemungutannya dialam kini sudah lebih maju dan mengembangkan sayapnya seperti sudah adanya kelompok tani, kelompok peternak sapi perah, mendo Aji, dan kelinci ta’awun.  Dari semuanya itu merupakan bentukan dari yang dulunya belum ada dan sekarang menjadi ada. Maksudnya dulu yang kebanyakan masyarakat Desa Semen hanya sibuk dengan pekerjaan ladangnya namun sekarang mereka bisa lebih dipadatkan dengan adanya sector-sektor baru tersebut. Meskipun dari kesemuanya itu adalah hal yang baru tapi, masyarakat Desa Semen juga tidak meninggalkan hal yang sudak ada. Seperti halnya mereka tetap nguri-nguri budaya yang telah ada seperti budaya Jaranan, Langgeng Beksan, Wayang Kulit, Wayang Orang, Mocopat dan tari-tarian Tradisionol.
            Dengan melihat kearifan budaya local dan kekayaan alamnya itu tidak jarang orang luar daerah yang datang untuk melakukan stady banding ke desa tersebut. Bahkan katanya dulu ada mahasiswa sosiologis dari Universitas Brawijaya malang yang menjadikan KWE sebagai laboratorium sosiologis luar biasa bukan.
            Kunci dari semuanya itu adalah keapikan masyarakatnya dalam merangkul seluruh aspek penduduk desa baik dari latar belakang tertentu maupun dari perbedaan yang ada. Sehingga mereka tidak udur-uduran dan saling menyalahkan. Dan berkat itu semua mereka mampu menciptakan kampung yang memang benar-benar berkwalitas luar biasa.
            Seandainya saja masyarakat desa tempat tinggal saya memiliki kesadaran yang sedemikian rupa, pastilah sekarang Desa Joso Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan sudah menjadi bahan bibir dan sorotan media.
            Mungkin hanya itu saja yang dapat otak udang ini sampaikan mengingat keterbatasan yang dimiliki sehingga nanti jika kalian datang ke Kampung Wisata Ekologis ini kalian bisa belajar lebih banyak dan kalian juga bisa bertanya-tanya tentang KWE diseketariatan Puspa Jagad yang berada di Desa Semen.
            Berhubung saya datang ke-sana tidaklah sendirian dan mungkin mereka juga telah menuliskan hasil dari pengamatan dan belajar mereka masing-masing sehingga nantinya mereka akan balik menandai saya dan tentunya dengan gaya bahasa khas mereka sendiri sehingga akan terciptalah tulisan-tulisan yang lebih beragam dari Kampung Wisata Ekologis (KWE) ini.





“penulis adalah santri Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT)Tulungagung, dan juga pelajar aktif dalam dunia literasi. Penulis berasaal dari Magetan Jawa Timur”.

Nusantara Masa Depan Islam Dunia



Buku Islam Nusantara jilid 1 karangan Ahmad Baso ini menjelaskan banyak hal tentang Islam Nusantara, diantaranya ingin menggali kembali serat atau babad terkait dengan Isam Nusantara. Ahmad Baso ingin memperkaya khazanah pemikiran dan kurikulum kita, sehingga kita mampu untuk ekspor ke luar negri dan bukan kita yang harus di isi dengan ilmu-ilmu luar negeri (impor). Nusantara yang memang terkenal dengan pemikiran-pemikiran  para ulama , yang bukan hanya dalam masalah agama tetapi juga jago dalam hal politik dan ekonomi ini menyebabkan Islam Nusantara begitu kokoh dan sangat berbeda corak dengan Islam di belahan dunia lain. Islam yang penuh dengan fariasi sesuai dengan kultur budaya yang ada ini menyebabkan Indonesia bukan hanya subyek yang asal menerima saja, tetapi juga mampu memberikan ide-ide kepada mereka sehingga kita juga mampu untuk menusantarakan mereka. Karena kita tahu bahwa islam yang murni berasal dari Arab adalah islam yang sangat kolot dan itu tidak sesuai dengan masyarakat kita.
               pada buku ini juga di jelaskan yang menjadi pembeda antara Islam Nusantara dengan islam di belahan dunia muslim lainnya adalah hasil ijtihadnya dalam masalah fiqih, pemikiran histografi, ekonomi hingga politik. Hasil dari ijtihad para ulama ini adalah suatu bentuk kontribusi terhadap pemikiran dan perkembangan islam untuk kemaslahatan umat.  Di contohkan juga seperti pemikiran atau hasil ijtihad dari Sunan Giri tentang  ta’lid talaq yang ingin membantu atau memperkuat posisi perempuan dalam pernikahan. Dan baru akhir-akhir ini ijtihad Islam Nusantara menjadi perbincangan ulama dunia semenjak abad ke-20, Itu menggambarkan bahwa mereka mulai mengaca dan ingin mengadopsi dari pemikiran kita.
               Jika kita melihat sejarah ternyata kekaguman ulama dunia terhadap bumi nusantara sudah sejak lama, seperti yang di tuliskan oleh pengarang dalam bukunya hal 57. “bahwa waktu itu Shekh Jumadil Kubra sempat kagum dengan kebesaran majapahit yang mampu mengusir bangsa Mongol dari bumi Nusantara, berbeda dengan cerita di Negara asalnya (Arab) yang mudah terkalahkan oleh bangsa Mongol”. Dari sini keluar dugaan beliau bahawa Nusantara adalah masa depan islam, islam akan lebih berkembang pesat dari pada di negaranya sendiri—Arab.
               Buku ini ditulis guna menjawab pertanyaan yang banyak terlontar terkait hakikat Islam Nusantara,  selain itu juga untuk mengukuhkan kembali nilai Islam Nusantara dengan cara menggaali awal babad  ajaran-ajaran Islam Nusantara sehingga generasi berikut (anak-cucu) tidak meninggalkan ataupun melupakan  kultur ini. Sehingga  Nusantara tetap menjadi masa depan islam dunia dan banyak ulama-ulama dunia yang ingin dan mau belajar kepada bumi kita.
               Dengan begitu kita lebih mudah dalam mengingat sejarah dan memaknai Islam Nusantara, sehingga dapat memicu semangat para pemuda baik dari kalangan santri,mahasiswa,pelajar, bahkan guru dan ulama NU di seluruh penjuru bumi Nusantara untuk lebih mengkaji kembali tentang khazanah Islam Nusantara, karena dengan  naskah-naskah terdahulu kita akan menjadi kiblat umat islam di dunia.
               Menariknya buku dari  Ahmad Baso ini tidak hanya menyasar pada kalangan kau m intelektual maupun  kalangan santri saja. Karena penggunaan bahasa yang telah dikemas dalam nuansa yang amat romantika sehingga mudah untuk dipahami bagi  siapa saja. Dan  seperti yang saya ketahui  dalam penulisaannya juga menggunakan sistem tanya jawab antara santri dan kiai  sehingga tidak mudah menjenuhkan bagi pembacanya , dan bisa lebih nyampai ke pembaca  dari isi yang di dalamnya maka dari itu buku ini bisa dipelajari untuk khalayak umum.
Untuk mengikuti berita yang lagi buming akir-akir ini sangat baik jika kita membaca buku Ahmad Baso ini, karena penyajian materi yang sangatlah lengkap dan penggambaran sejarah yang sangat detail sehingga kita lebih mudah jika ingin mempelajari. Buku ini juga tidak terlalu membingungkan untuk para pembaca kelas ringan karena dalam buku ini sudah dikemas se-enteng mungkin sehingga siapa saja bisa dengan mudah untuk membaca dan  mempelajari tentang Islam Nusantara karya Ahmad Baso ini.